(Bolehkah) Beralasan Dengan Takdir Atas Perbuatan Maksiat Atau Dari Meninggalkan Kewajiban
(BOLEHKAH) BERALASAN DENGAN TAKDIR ATAS PERBUATAN MAKSIAT ATAU DARI MENINGGALKAN KEWAJIBAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh seseorang berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal. Seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan dengan takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal”.[1]
Karena perkara ini menimbulkan banyak bencana, maka inilah pemaparan mengenai sebagian dalil-dalil syar’i, ‘aqli (akal), dan kenyataan, yang menjelaskan kebathilan dengan beralasan kepada qadar (takdir) atas perbuatan maksiat, atau dari meninggalkan ketaatan. [2]
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta“.[Al-An-‘aam/6 : 148]
Kaum musyrikin tersebut berdalih dengan takdir atas perbuatan syirik mereka. Seandainya argumen mereka diterima dan benar, niscaya Allah tidak menimpakan adzab-Nya kepada mereka.
2. Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu... “. [An-Nisaa’/4 : 165]
Seandainya berdalih dengan takdir atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya tidak ada sebab untuk mengutus para Rasul.
3. Allah memerintahkan hamba dan melarangnya, serta tidak membebaninya kecuali apa yang disanggupinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…“. [At-Taghaabun/64 : 16]
Juga firman-Nya yang lain.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”. [Al-Baqarah/2 : 286]
Seandainya hamba dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia berarti telah dibebani dengan sesuatu yang dirinya tidak mampu terbebas darinya. Ini adalah suatu kebathilan. Oleh karena itu, jika kemaksiatan terjadi padanya karena kebodohan, lupa atau paksaan, maka tidak ada dosa atasnya karena ia dimaafkan.
4. Qadar adalah rahasia yang tersembunyi, tidak ada seorang makhluk pun yang mengetahuinya kecuali setelah takdir itu terjadi, dan kehendak hamba terhadap apa yang dilakukannya adalah mendahului perbuatannya. Jadi, kehendaknya untuk berbuat, tidaklah berdasarkan pada pengetahuan tentang takdir Allah. Oleh karena itu, pengakuannya bahwa Allah telah menakdirkan kepadanya demikian dan demikian adalah pengakuan yang bathil, karena ia telah mengaku mengetahui yang ghaib, sedangkan perkara ghaib itu hanyalah diketahui oleh Allah. Dengan demikian, argumennya batal, sebab tidak ada argumen bagi seseorang mengenai sesuatu yang tidak diketahuinya.
5. Seandainya kita membebaskan orang yang berdalih dengan qadar atas perbuatan dosa, niscaya kita telah menafikan syari’at.
6. Seandainya berdalih dengan qadar -semacam ini- bisa menjadi hujjah (argumen), niscaya telah diterima argumentasi dari iblis yang mengatakan, (sebagaimana yang difirmankan oleh Allah):
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus“. [Al-A’raaf/7: 16]
7. Seandainya dalih mereka diterima juga, niscaya Fir’aun, musuh Allah, sama dengan Nabi Musa Alaihissalam, Nabi yang diajak bicara oleh Allah secara langsung.
8. Berdalih dengan qadar atas perbuatan dosa dan aib, berarti membenarkan pendapat kaum kafir, dan ini merupakan kelaziman bagi orang yang berdalih, tidak terpisah darinya.
9. Seandainya itu suatu argumen (yang benar), niscaya ahli Neraka berargumen dengannya, ketika mereka melihat Neraka dan merasa bahwa mereka akan memasukinya. Demikian pula ketika mereka memasukinya, dan mereka mulai dicela serta dihukum. Apakah mereka akan berdalih dengan qadar atas kemaksiatan dan kekafiran mereka?
Jawabannya: Tidak, bahkan mereka mengatakan, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla tentang mereka:
رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ نُجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ
“..Ya Rabb kami, beri tangguhlah kami (kembalikan kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan akan mengikuti para Rasul…“. [Ibrahim/14 : 44]
Mereka juga mengatakan:
رَبَّنَا غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا
“…Ya Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami...”. [Al-Mu’minuun/23: 106]
Mereka juga mengatakan:
لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“…Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni Neraka yang menyala-nyala“. [Al-Mulk/67 : 10]
Dan mereka mengatakan:
لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“…Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat“. [Al-Muddatstsir/74 : 43]
Juga perkataan-perkataan mereka lainnya yang mereka katakan.
Seandainya berdalih dengan qadar atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya mereka berdalih dengannya, karena mereka sangat membutuhkan sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa Neraka Jahannam.
10. Di antara (jawaban) lain yang dapat menolak pendapat ini adalah, bahwa kita melihat manusia menginginkan sesuatu yang pantas untuknya dalam berbagai urusan dunianya hingga ia dapat memperolehnya. Ia tidak berpaling darinya kepada sesuatu yang tidak pantas untuknya, kemudian berdalih atas berpalingnya ia darinya tersebut dengan takdir.
Lalu mengapa ia berpaling dari apa yang bermanfaat baginya dalam urusan agamanya kepada perkara yang merugikannya kemudian berargumen dengan qadar?!
Saya berikan contoh kepadamu yang menjelaskan hal itu : Seandainya manusia hendak bepergian ke suatu negeri, dan negeri tersebut mempunyai dua jalan: salah satunya aman sentosa dan yang lainnya terjadi tindakan anarkis, kekacauan, pembunuhan, dan perampasan, manakah di antara keduanya yang akan dilaluinya?
Tidak diragukan lagi bahwa ia akan menempuh jalan yang pertama, lalu mengapa ia tidak menempuh jalan ke akhirat melalui jalan Surga, tanpa melalui jalan Neraka?
11. Di antara jawaban yang dapat diberikan kepada orang yang berdalih dengan takdir ini -berdasarkan madzhabnya- ialah katakan kepadanya, “Janganlah engkau menikah! Sebab jika Allah menghendaki kepadamu seorang anak, maka anak itu akan datang kepadamu dan jika tidak menghendakinya, maka anak tersebut tidak datang (walaupun menikah)!”. “Janganlah makan dan minum! Sebab jika Allah menakdirkan kepadamu kenyang dan tidak kehausan, maka hal itu akan terwujud dan jika tidak, maka hal itu tidak akan terwujud”. “Jika binatang buas lagi berbahaya menyerangmu, jangan lari darinya! Sebab jika Allah menakdirkan untukmu keselamatan, maka kamu akan selamat dan jika tidak menakdirkan keselamatan untukmu, maka lari tidak bermanfaat bagimu”. “Jika kamu sakit, janganlah berobat! Sebab jika Allah menakdirkan kesembuhan untukmu, maka kamu pasti sembuh dan jika tidak, maka obat itu tidak bermanfaat bagimu”.
Apakah ia menyetujui kita atas pernyataan ini ataukah tidak? Jika ia menyepakati kita, maka kita mengetahui kerusakan akalnya dan jika menyelisihi kita, maka kita mengetahui kerusakan ucapannya dan kebathilan argumennya.
12. Orang yang berdalih dengan qadar atas kemaksiatan telah menyerupakan dirinya dengan orang-orang gila dan anak-anak, karena mereka bukan mukallaf (yang berlaku padanya hukum syar’i) dan juga tidak mendapatkan sanksi. Seandainya ia diperlakukan seperti mereka dalam urusan dunia, niscaya dia tidak akan ridha.
13. Seandainya kita menerima argumen yang bathil ini, niscaya tidak diperlukan lagi istighfar, taubat, do’a, jihad, serta amar ma’ruf dan nahi mungkar.
14. Seandainya qadar adalah sebagai argumen atas perbuatan aib dan dosa, niscaya berbagai kemaslahatan manusia terhenti, anarkisme terjadi di mana-mana, tidak diperlukan lagi hudud (batasan-batasan hukum atau hukuman) dan ta’zir (peringatan sebagai hukuman) serta balasan, karena orang yang berbuat keburukan akan beralasan dengan qadar. Kita tidak perlu memberi hukuman kepada orang-orang yang zhalim juga para perampok dan penyamun, tidak perlu pula membuka badan-badan peradilan dan mengangkat para qadhi (hakim), dengan alasan bahwa segala yang terjadi adalah karena takdir Allah. Dan perkataan ini tidak pernah dinyatakan oleh orang yang berakal.
15. Orang yang berdalih dengan qadar ini yang mengatakan, “Kami tidak akan dihukum, karena Allah telah menentukan hal itu atas kami. Sebab, bagaimana kami akan dihukum terhadap apa yang telah ditentukan atas kami?” Kita berikan jawaban untuknya: Kita tidak dihukum berdasarkan catatan terdahulu, tetapi kita hanyalah dihukum karena apa yang telah kita perbuat dan kita usahakan. Kita tidak diperintahkan kepada apa yang Allah telah takdirkan atas kita, tetapi kita hanyalah diperintahkan untuk melaksanakan apa yang Dia perintahkan kepada kita. Ada perbedaan antara apa yang dikehendaki terhadap kita dan apa yang dikehendaki dari kita. Apa yang Allah kehendaki terhadap kita, maka Dia merahasiakannya dari kita, adapun apa yang Allah kehendaki dari kita, maka Dia memerintahkan kita supaya melaksanakannya.
Di antara yang layak untuk dikatakan bagi mereka adalah : Bahwa argumen kebanyakan dari mereka bukanlah muncul dari qana’ah dan keimanan, tetapi hanyalah muncul dari hawa nafsu dan penentangan. Karena itu, sebagian ulama mengatakan mengenai orang yang demikian keadaannya, “Ketika taat, engkau (orang yang berpendapat demikian tadi) menjadi qadari (pengikut paham Qadariyyah) dan ketika bermaksiat, maka engkau menjadi jabari (pengikut paham Jabariyyah). Mazhab apa pun yang selaras dengan hawa nafsumu, maka engkau bermazhab dengannya”.[3]
Maksudnya, ketika ia melakukan ketaatan, maka ia menisbatkan hal itu kepada dirinya, dan mengingkari bahwa Allah menakdirkan hal itu kepadanya. Sebaliknya, jika ia melakukan kemaksiatan, maka ia berdalih dengan takdir.
Ringkasnya:
Berargumen dengan qadar atas perbuatan maksiat atau meninggalkan ketaatan adalah argumen yang bathil menurut syari’at, akal, dan kenyataan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang orang-orang yang berdalih dengan qadar, “Kaum tersebut, jika tetap meneruskan keyakinan ini, maka mereka itu lebih kafir dari orang Yahudi dan Nashrani”. [4]
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/179). Lihat juga, ‘Iqtidhaa’ ash-Shiraathal Mustaqiim, (II/858-859).
[2]. Lihat, Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/65-78). Dan lihat, Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/262-268), Rasaa-il fil ‘Aqiidah, hal. 38-39, dan Lum’atul I’tiqaad bi Syarh Muhammad bin ‘Utsaimin, hal. 93-95.
[3]. Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/107).
[4]. Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/262).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2488-bolehkah-beralasan-dengan-takdir-atas-perbuatan-maksiat-atau-dari-meninggalkan-kewajiban.html